Wednesday, May 3, 2017

Pengobatan Tuberkulosis

Terdapat 2 macam sifat/aktivitas obat terhadap tuberkulosis yaitu:
Aktivitas bakterisid. Obat bersifat membunuh kuman-kuman yang sedang tumbuh (metabolismenya masih aktif).
Aktivitas sterilisasi. Obat bersifat membunuh kuman-kuman yang pertumbuhannya lambat (metabolismenya kurang aktif).
Hampir semua obat antituberkulosis mempunya sifat bakterisid kecuali etambutol dan tiasetazon yang hanya bersifat bakteriostatik. Rifampisin dan pirazinamid mempunyai aktivitas sterilisasi yang baik, sedangkan INH dan streptomisin menempati urutan yang lebih di bawah.

KEMOTERAPI TUBERKULOSIS
Program pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi 2 fase, yaitu: fase bakterisidal awal (inisial) dan fase sterilisasi (lanjutan).
Tujuan kemoterapi:
-                 Menyembuhkan pasien dan mengembalikan kualitas hidup dan produktivitas
-                 Mencegah kematian atau komplikasi lanjut dari penyakit
-                 Mencegah kambuh
-                 Mencegah munculnya resistensi obat
-                 Mencegah lingkungannya dari penularan

Obat-obatan TB dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis resimen, yaitu obat lini pertama dan lini kedua. Obat-obatan lini pertama terdiri dari Isoniazid (INH), Rifampisin (R), Pirazinamid, Etambutol dan Streptomisin. Obat-obatan lini kedua yaitu Kanamisin, Kapreomisin, Amikasin, Kuinolon, Sikloserin, Etionamid/Protionamid, Para-Amino Salisilat (PAS).

Resimen Pengobatan Saat Ini (metode DOTS)
Kategori 1. Pasien tuberkulosis paru (TBP) dengan sputum BTA positif dan kasus baru, TBP lainnya dalam keadaan TB berat, sputum BTA negatif tetapi dengan kelainan di paru luas, tuberkulosis usus dan saluran kemih. Pengobatan fase inisial resimennya terdiri dari 2 RHZS (E), setiap hari selama 2 bulan. Sputum BTA awal yang positif setelah 2 bulan diharapkan menjadi negatif, dan kemudian dilanjutkan dengan fase lanjutan 4HR atau 4R3H3 atau 6HE. Apabila sputum BTA masih positif dalam 2 bulan, fase intensif diperpanjang 4 minggu lagi.

Kategori 2. Pasien kasus kambuh atau gagal dengan sputum BTA positif. Pengobatan fase inisial terdiri dari dan 2RHZES/1RHZE, yaitu R dengan H, Z, E setiap hari selama 3 bulan, ditambah dengan S selama 2 bulan pertama. Apabila sputum BTA menjadi negatif, fase lanjutan dapat segera dimulai. Apabila sputum BTA masih positif pada minggu ke-12, fase inisial dengan 4 obat dilanjutkan 1 bulan lagi. Bila akhir bulan ke-4 sputum BTA masih positif, semua obat dihentikan selama 2-3 hari dan dilakukan kultur sputum untuk uji kepekaan. Obat dilanjutkan memakai resimen fase lanjutan, yaitu 5R3H3E3 atau 5RHE.

Kategori 3. Pasien TBP dengan sputum BTA negatif tetapi kelainan paru tidak luas dan kasus TB ekstra-pulmonal (selain dari kategori I). Pengobatan fase inisial terdiri dari 2RHZ atau 2R3H3Z3E3, yang diteruskan dengan fase lanjutan 2RH atau H3R3.


Kategori 4. Tuberkulosis kronik. Pada pasien ini mungkin mengalami resistensi ganda, sputumnya harus dikultur dan uji kepekaan obat. Untuk seumur hidup diberi H saja (WHO) atau sesuai rekomendasi WHO untuk pengobatan TB resistensi ganda (multidrugs resistant tuberculosis (MDR-TB).


Dosis Obat

EFEK SAMPING OBAT
Sebagian besar obat-obat anti tuberkulosis yang banyak dipakai bersifat hepatotoksik. Hepatitis karena obat antituberkulosis banyak terjadi karena pemakaian INH + rifampisin. Terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa INH memproduksi hidrazin yakni suatu metabolik yang hepatotoksik. Hidrazin ini lebih banyak lagi diproduksi bila pemberian INH dikombinasikan dengan rifampisin.


Biasanya bila kadar SGOT/SGPT meningkat tetapi tidak lebih dari 2 kali nilai normal, INH dan rifampisin masih dapat diteruskan. Bila kadarnya meningkat terus, INH dan rifampisin harus dihentikan pemberiannya. Bila sudah terjadi hepatitis karena obat, biasanya hepatitis akan sembuh sendiri jika obat-obatan dihentikan pemberiannya, dan diganti dengan obat-obat yang tidak hepatotoksik. Pemberian steroid pada hepatitis karena OAT dapat dipertimbangkan. Rifampisin dan INH kemudian dapat diberikan kembali sendiri-sendiri secara desensitisasi (dosis obat dimulai dari yang paling kecil dan dinaikkan perlahan-lahan sambil menilai adakah kelainan toksik/alergi terjadi.

Desensitisasi dengan INH dimulai dengan 25 mg dan dinaikkan 2 kali dosis sebelumnya setiap 3 hari (25-50-100-200-300-400 mg). Untuk rifampisin sama seperti INH dan dimulai dengan dosis 75 mg (hari pertama 75 mg, hari ke-4 75 mg, hari ke-7 150 mg, hari ke-10 150 mg, hari ke-13 450 mg, hari ke-16 450 mg, hari ke-19 600 mg).

Untuk mencegah terjadinya efek samping OAT perlu dilakukan pemeriksaan kontrol seperti:
-                 Tes buta warna mata, bagi pasien yang memakai obat etambutol
-                 Tes audiometri bagi yang memakai obat Streptomisin
-                 Pemeriksaan darah terhadap enzim hati, bilirubin, ureum/kreatinin, darah perifer dan asam urat (untuk pemakai pirazinamid)

EVALUASI PENGOBATAN
Klinis. Pasien dikontrol dalam 1 minggu pertama, selanjutnya setiap 2 minggu selama tahap intensif dan seterusnya sekali serbulan sampai akhir pengobatan. Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, dan pemeriksaan fisik.

Bakteriologis. Biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA mulai menjadi negatif. WHO menganjurkan kontrol sputum BTA dilakukan pada akhir bulan ke-2, 4, dan 6. Pada yang memakai paduan obat 8 bulan sputum BTA diperiksa pada akhir bulan ke-2, 5, dan 8. Biakan BTA dilakukan pada permulaan, akhir bulan ke-2 dan akhir pengobatan. Pemeriksaan resistensi dilakukan pada pasien baru yang BTA-nya masih positif setelah tahap intensif dan pada terapi awal bagi pasien yang mendapatkan pengobatan ulang (retreatment).

Radiologis. Evaluasi foto thoraks dilakukan saat sebelum pengobatan, setelah 2 bulan pengobatan dan pada akhir pengobatan.

KEGAGALAN PENGOBATAN
Gagal pengobatan yaitu jika pasien dengan hasil sputum BTA atau kultur positif pada bulan kelima atau lebih dalam pengobatan. 
Sebab-sebab kegagalan pengobatan, antara lain:
Obat: 1) Paduan obat tidak adekuat. 2) Dosis obat tidak cukup. 3) Minum obat tidak teratur/tidak sesuai dengan petunjuk yang diberikan. 4) Jangka waktu pengobatan kurang dari semestinya. 5) Terjadi resistensi obat. 6) Resistensi obat sudah harus diwaspadaai yakni bila dalam 1-2 bulan pengobatan tahap intensif, tidak terlihat perbaikan.

Drop out: 1) Kekurangan biaya pengobatan. 2) Merasa sudah sembuh. 3) Malas berobat/kurang motivasi.

Penyakit: 1) Lesi paru yang sakit terlalu luas/sakit berat. 2) Penyakit lain yang menyertai tuberkulosis seperti diabetes melitus, alkoholisme. 3) Adanya gangguan imunologis.
Penanggulangan terhadap kasus-kasus yang gagal ini adalah:
Terhadap pasien yang sudah berobat secara teratur.
  • Menilai kembali apakah paduan obat sudah adekuat mengenai dosis dan cara pemberiannya.
  • Lakukan pemeriksaan ujia kepekaan/tes resistensi kuman terhadap obat.
  • Bila sudah dicoba dengan obat-obat yang masih peka, tetapi ternyata gagal juga maka pertimbangkan terapi dengan pembedahan terutama pada pasien dengan kavitas atau destroyed lung.

Terhadap pasien dengan riwayat pengobatan tidak teratur.
  • Teruskan pengobatan lama selama +3 bulan dengan evaluasi bakteriologis tiap-tiap bulan.
  • Nilai kembali tes resistensi kuman terhadap obat.
  • Bila ternyata terdapat resistensi terhadap obat, ganti dengan paduan obat yang masih sensitif.


PASIEN KAMBUH
Pasien kambuh adalah pasien yang telah menjalani pengobatan secara teratur dan adekuat sesuai dengan rencana, tetapi dalam kontrol ulangan ternyata sputum BTA kembali positif. Umumnya kekambuhan terjadi pada tahun pertama setelah pengobatan selesai dan sebagian besar kumannya masih sensitif terhadap obat-obat yang dipergunakan semula.
Penanggulangan terhadap pasien kambuh adalah:
  • Berikan pengobatan yang sama dengan pengobatan pertama
  • Lakukan pemeriksaan bakteriologis optimal, yakni periksa sputum BTA mikroskopis langsung 3 kali, biakan dan resistensi
  • Evaluasi secara radiologis luasnya kelainan paru
  • Identifikasi adakah penyakit lain yang memberatkan tuberkulosis seperti DM, alkoholisme atau pemberian kortikosteroid lama
  • Sesuaikan obat-obat dengan hasil tes kepekaan/tes resistensi
  • Nilai kembali secara ketat hasil pengobatan secara klinis, radiologis dan bakteriologis tiap-tiap bulan
(Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi VI)

No comments:

Post a Comment

Lupus Eritematosus Sitemik / Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

Lupus eritematosus sitemik (systemic lupus erythematosus) (SLE) merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum dik...