Terdapat 2 macam
sifat/aktivitas obat terhadap tuberkulosis yaitu:
Aktivitas
bakterisid. Obat bersifat membunuh kuman-kuman yang
sedang tumbuh (metabolismenya masih aktif).
Aktivitas
sterilisasi. Obat bersifat membunuh kuman-kuman yang
pertumbuhannya lambat (metabolismenya kurang aktif).
Hampir semua obat
antituberkulosis mempunya sifat bakterisid kecuali etambutol dan tiasetazon
yang hanya bersifat bakteriostatik. Rifampisin dan pirazinamid mempunyai
aktivitas sterilisasi yang baik, sedangkan INH dan streptomisin menempati
urutan yang lebih di bawah.
KEMOTERAPI TUBERKULOSIS
Program pengobatan
tuberkulosis dibagi menjadi 2 fase, yaitu: fase bakterisidal awal (inisial) dan
fase sterilisasi (lanjutan).
Tujuan kemoterapi:
-
Menyembuhkan pasien dan mengembalikan
kualitas hidup dan produktivitas
-
Mencegah kematian atau komplikasi lanjut dari
penyakit
-
Mencegah kambuh
-
Mencegah munculnya resistensi obat
-
Mencegah lingkungannya dari penularan
Obat-obatan
TB dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis resimen, yaitu obat lini pertama dan
lini kedua. Obat-obatan lini pertama terdiri dari Isoniazid (INH), Rifampisin
(R), Pirazinamid, Etambutol dan Streptomisin. Obat-obatan lini kedua yaitu
Kanamisin, Kapreomisin, Amikasin, Kuinolon, Sikloserin, Etionamid/Protionamid,
Para-Amino Salisilat (PAS).
Resimen Pengobatan Saat Ini
(metode DOTS)
Kategori 1. Pasien
tuberkulosis paru (TBP) dengan sputum BTA positif dan kasus baru, TBP lainnya
dalam keadaan TB berat, sputum BTA negatif tetapi dengan kelainan di paru luas,
tuberkulosis usus dan saluran kemih. Pengobatan fase inisial resimennya terdiri
dari 2 RHZS (E), setiap hari selama 2 bulan. Sputum BTA awal yang positif
setelah 2 bulan diharapkan menjadi negatif, dan kemudian dilanjutkan dengan
fase lanjutan 4HR atau 4R3H3 atau 6HE. Apabila sputum BTA masih positif dalam 2
bulan, fase intensif diperpanjang 4 minggu lagi.
Kategori 2. Pasien
kasus kambuh atau gagal dengan sputum BTA positif. Pengobatan fase inisial
terdiri dari dan 2RHZES/1RHZE, yaitu R dengan H, Z, E setiap hari selama 3
bulan, ditambah dengan S selama 2 bulan pertama. Apabila sputum BTA menjadi
negatif, fase lanjutan dapat segera dimulai. Apabila sputum BTA masih positif
pada minggu ke-12, fase inisial dengan 4 obat dilanjutkan 1 bulan lagi. Bila akhir
bulan ke-4 sputum BTA masih positif, semua obat dihentikan selama 2-3 hari dan
dilakukan kultur sputum untuk uji kepekaan. Obat dilanjutkan memakai resimen
fase lanjutan, yaitu 5R3H3E3 atau 5RHE.
Kategori 3. Pasien
TBP dengan sputum BTA negatif tetapi kelainan paru tidak luas dan kasus TB
ekstra-pulmonal (selain dari kategori I). Pengobatan fase inisial terdiri dari
2RHZ atau 2R3H3Z3E3, yang diteruskan dengan fase lanjutan 2RH atau H3R3.
Kategori 4. Tuberkulosis
kronik. Pada pasien ini mungkin mengalami resistensi ganda, sputumnya harus
dikultur dan uji kepekaan obat. Untuk seumur hidup diberi H saja (WHO) atau
sesuai rekomendasi WHO untuk pengobatan TB resistensi ganda (multidrugs resistant tuberculosis (MDR-TB).
Dosis Obat
EFEK SAMPING OBAT
Sebagian
besar obat-obat anti tuberkulosis yang banyak dipakai bersifat hepatotoksik. Hepatitis
karena obat antituberkulosis banyak terjadi karena pemakaian INH + rifampisin. Terdapat
hipotesis yang menyatakan bahwa INH memproduksi hidrazin yakni suatu metabolik
yang hepatotoksik. Hidrazin ini lebih banyak lagi diproduksi bila pemberian INH
dikombinasikan dengan rifampisin.
Biasanya
bila kadar SGOT/SGPT meningkat tetapi tidak lebih dari 2 kali nilai normal, INH
dan rifampisin masih dapat diteruskan. Bila kadarnya meningkat terus, INH dan
rifampisin harus dihentikan pemberiannya. Bila sudah terjadi hepatitis karena
obat, biasanya hepatitis akan sembuh sendiri jika obat-obatan dihentikan
pemberiannya, dan diganti dengan obat-obat yang tidak hepatotoksik. Pemberian steroid
pada hepatitis karena OAT dapat dipertimbangkan. Rifampisin dan INH kemudian
dapat diberikan kembali sendiri-sendiri secara desensitisasi (dosis obat
dimulai dari yang paling kecil dan dinaikkan perlahan-lahan sambil menilai
adakah kelainan toksik/alergi terjadi.
Desensitisasi
dengan INH dimulai dengan 25 mg dan dinaikkan 2 kali dosis sebelumnya setiap 3
hari (25-50-100-200-300-400 mg). Untuk rifampisin sama seperti INH dan dimulai
dengan dosis 75 mg (hari pertama 75 mg, hari ke-4 75 mg, hari ke-7 150 mg, hari
ke-10 150 mg, hari ke-13 450 mg, hari ke-16 450 mg, hari ke-19 600 mg).
Untuk
mencegah terjadinya efek samping OAT perlu dilakukan pemeriksaan kontrol
seperti:
-
Tes buta warna mata, bagi pasien yang memakai
obat etambutol
-
Tes audiometri bagi yang memakai obat
Streptomisin
-
Pemeriksaan darah terhadap enzim hati,
bilirubin, ureum/kreatinin, darah perifer dan asam urat (untuk pemakai
pirazinamid)
EVALUASI PENGOBATAN
Klinis. Pasien
dikontrol dalam 1 minggu pertama, selanjutnya setiap 2 minggu selama tahap
intensif dan seterusnya sekali serbulan sampai akhir pengobatan. Evaluasi klinis
meliputi keluhan, berat badan, dan pemeriksaan fisik.
Bakteriologis. Biasanya
setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA mulai menjadi negatif. WHO
menganjurkan kontrol sputum BTA dilakukan pada akhir bulan ke-2, 4, dan 6. Pada
yang memakai paduan obat 8 bulan sputum BTA diperiksa pada akhir bulan ke-2, 5,
dan 8. Biakan BTA dilakukan pada permulaan, akhir bulan ke-2 dan akhir
pengobatan. Pemeriksaan resistensi dilakukan pada pasien baru yang BTA-nya
masih positif setelah tahap intensif dan pada terapi awal bagi pasien yang
mendapatkan pengobatan ulang (retreatment).
Radiologis. Evaluasi
foto thoraks dilakukan saat sebelum pengobatan, setelah 2 bulan pengobatan dan
pada akhir pengobatan.
KEGAGALAN PENGOBATAN
Gagal
pengobatan yaitu jika pasien dengan hasil sputum BTA atau kultur positif pada
bulan kelima atau lebih dalam pengobatan.
Sebab-sebab kegagalan pengobatan,
antara lain:
Obat: 1)
Paduan obat tidak adekuat. 2) Dosis obat tidak cukup. 3) Minum obat tidak
teratur/tidak sesuai dengan petunjuk yang diberikan. 4) Jangka waktu pengobatan
kurang dari semestinya. 5) Terjadi resistensi obat. 6) Resistensi obat sudah
harus diwaspadaai yakni bila dalam 1-2 bulan pengobatan tahap intensif, tidak
terlihat perbaikan.
Drop
out: 1) Kekurangan biaya pengobatan. 2) Merasa sudah sembuh.
3) Malas berobat/kurang motivasi.
Penyakit: 1)
Lesi paru yang sakit terlalu luas/sakit berat. 2) Penyakit lain yang menyertai
tuberkulosis seperti diabetes melitus, alkoholisme. 3) Adanya gangguan
imunologis.
Penanggulangan
terhadap kasus-kasus yang gagal ini adalah:
Terhadap
pasien yang sudah berobat secara teratur.
- Menilai kembali apakah paduan obat sudah adekuat mengenai dosis dan cara pemberiannya.
- Lakukan pemeriksaan ujia kepekaan/tes resistensi kuman terhadap obat.
- Bila sudah dicoba dengan obat-obat yang masih peka, tetapi ternyata gagal juga maka pertimbangkan terapi dengan pembedahan terutama pada pasien dengan kavitas atau destroyed lung.
Terhadap
pasien dengan riwayat pengobatan tidak teratur.
- Teruskan pengobatan lama selama +3 bulan dengan evaluasi bakteriologis tiap-tiap bulan.
- Nilai kembali tes resistensi kuman terhadap obat.
- Bila ternyata terdapat resistensi terhadap obat, ganti dengan paduan obat yang masih sensitif.
PASIEN KAMBUH
Pasien
kambuh adalah pasien yang telah menjalani pengobatan secara teratur dan adekuat
sesuai dengan rencana, tetapi dalam kontrol ulangan ternyata sputum BTA kembali
positif. Umumnya kekambuhan terjadi pada tahun pertama setelah pengobatan
selesai dan sebagian besar kumannya masih sensitif terhadap obat-obat yang
dipergunakan semula.
Penanggulangan
terhadap pasien kambuh adalah:
- Berikan pengobatan yang sama dengan pengobatan pertama
- Lakukan pemeriksaan bakteriologis optimal, yakni periksa sputum BTA mikroskopis langsung 3 kali, biakan dan resistensi
- Evaluasi secara radiologis luasnya kelainan paru
- Identifikasi adakah penyakit lain yang memberatkan tuberkulosis seperti DM, alkoholisme atau pemberian kortikosteroid lama
- Sesuaikan obat-obat dengan hasil tes kepekaan/tes resistensi
- Nilai kembali secara ketat hasil pengobatan secara klinis, radiologis dan bakteriologis tiap-tiap bulan
No comments:
Post a Comment