Tuesday, May 30, 2017

Lupus Eritematosus Sitemik / Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

Lupus eritematosus sitemik (systemic lupus erythematosus) (SLE) merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum diketahui serta manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat beragam. Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan angka kematian yang cukup tinggi.
Manifestasi klinis SLE sangat luas, meliputi keterlibatan kulit dan mukosa, sendi, darah, jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat (SSP) dan sistem imun.

Kewaspadaan Akan Penyakit SLE
Kecurigaan akan penyakit SLE perlu dipikirkan bila dijumpai 2 atau lebih kriteria sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:
  1. Wanita muda dengan keterlibatan 2 organ atau lebih.
  2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan berat badan.
  3. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, miositis.
  4. Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, lesi membrana mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.
  5. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria,sindrom nefrotik.
  6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen.
  7. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal, lesi parenkim paru.
  8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis.
  9. Retikulo-endotelial: organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali).
  10. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia.
  11. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis transversus, gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer.
Kecurigaan tersebut dilanjutkan dengan melakukan eksklusi terhadap penyakit lainnya.
Rekomendasi IRA
Kecurigaan terhadap SLE perlu dipikirkan pada penderita yang memiliki 2 atau lebih kriteria kewaspadaan SLE.

Diagnosis SLE

Tabel Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik
Keterangan:
Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4 dari 11 kriteria tersebut yang terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang waktu.
Modifikasi kriteria ini dilakukan pada tahun 1997.

Pemeriksaan Penunjang Minimal Lain yang Diperlukan untuk Diagnosis dan Monitoring
  • Hemoglobin, leukosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)*
  • Urin rutin dan mikroskopik, protein kuantitatif 24 jam, dan bila diperlukan kreatinin urin.
  • Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)*
  • PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid
  • Serologi ANA**, anti-dsDN***, komplemen*** (C3, C4)
  • Foto polos thorax

* pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk monitoring.
** setiap 3-6 bulan bila stabil
*** setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif.
ANA, antibodi antinuklear. PT/PTT, protrombin time/partial tromboplastin time

Rekomendasi IRA
  • Diagnosis SLE di Indonesia mengacu pada kriteria diagnosis ACR 1997 revisi
  • Diagnosis SLE dapat ditegakkan jika memenuhi minimal 4 dari 11 kriteria ACR untuk SLE
Pemeriksaan Serologi pada SLE
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE adalah tes ANA generik (ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA dikerjakan hanya pada pasien dengan tanda dan gejala yang mengarah pada SLE. Pada penderita SLE ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit lain yang memiliki gambaran klinis menyerupa SLE misalnya infeksi kronis (tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed Connective Tissue Disease (MCTD), artritis reumatoid, tiroiditis autoimun), keganasan atau pada orang normal.
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes antibodi terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP, Ro(SSA), La(SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil ANA/ENA. Antibodi anti-dsDNA merupakan tes spesifik untuk SLE, jarang ditemukan pada penyakit lain dan spesifisitasnya hampir 100%.

Rekomendasi IRA
  • Tes ANA merupakan tes yang sensitif, namun tidak spesifik untuk SLE
  • Tes ANA dikerjakan hanya jika terdapat kecurigaan terhadap SLE
  • Tes anti-dsDNA positif menunjang diagnosis SLE, namun jika negatif tidak menyingkirkan diagnosis SLE


Derajat Penyakit SLE
Penyakit SLE dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam jiwa.
Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:
  • Secara klinis tenang
  • Tidak terdapat tanda / gejala mengancam nyawa
  • Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.

Contoh: SLE dengan manifestasi artritis dan kulit.

Penyakit SLE dengan tingkat keparahan sedang jika ditemukan:
  • Nefritis ringan sampai sedang (lupus nefritis kelas I dan II)
  • Trombositopenia (trombosit 20.000-50.000/mm3)
  • Serositis mayor

Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan seperti:
  • Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis, tamponade jantung, hipertensi maligna.
  • Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru, infark paru, fibrosis interstitial, shrinking lung.
  • Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
  • Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
  • Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).
  • Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi.
  • Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit < 1000/mm3), trombositopenia < 20.000/mm3, purpura trombotik trombositopenia, trombosis vena atau arteri. 

Pilar Pengobatan SLE
  1. Edukasi dan konseling
  2. Program rehabilitasi
  3. Pengobatan medikamentosa
Edukasi / Konseling
Butir-butir edukasi terhadap pasien SLE

Program Rehabilitasi
Secara garis besar, maka tujuan, indikasi dan teknis pelaksanaan program rehabilitasi yang melibatkan beberapa maksud di bawah ini, yaitu:
  • Istirahat
  • Terapi fisik
  • Terapi dengan modalitas
  • Ortotik
  • Lain-lain
Terapi Medikamentosa
Jenis obat yang dipakai pada SLE yaitu:
  • OAINS
  • Kortikosteroid
  • Anti malaria
  • Imunosupresan / Sitotoksik
  • Obat lainnya
Kortikosteroid
Kortikosteroid (KS) digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan SLE. Meski dihubungkan dengan munculnya banyak efek samping, KS tetap merupakan obat yang banyak dipakai sebagai antiinflamasi dan imunosupresi.
Terminologi Pembagian Kortikosteroid

Indikasi Pemberian Kortikosteroid
Pembagian dosis KS membantu kita dalam menatalaksana kasus rematik. Dosis rendah sampai sedang digunakan pada SLE yang relatif tenang. Dosis sedang sampai tinggi berguna untuk SLE yang aktif. Dosis sangat tinggi dan terapi pulse diberikan untuk krisis akut yang berat seperti pada vaskulitis luas, lupus nefritis, dan lupus cerebral.

Efek Samping Kortikosteroid
Efek samping kortikosteroid tergantung kepada dosis dan waktu, dengan meminimalkan jumlah KS, akan meminimalkan juga risiko efek samping.
Efek samping yang sering ditemukan pada pemakaian kortikosteroid dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Cara Pemberian Kortikosteroid
Pulse Terapi Kortikosteroid
Pulse terapi KS digunakan untuk penyakit rematik yang mengancam nyawa, induksi atau pada kekambuhan. Dosis tinggi ini biasa diberikan intravena dengan dosis 0,5-1 gram metilprednisolon (MP). Diberikan selama 3 hari berturut-turut.

Cara Pengurangan Dosis Kortikosteroid
Karena berpotensi mempunyai efek samping, maka dosis KS mulai dikurangi segera setelah penyakitnya terkontrol. Tapering harus dilakukan secara hati-hati untuk menghindari kembalinya aktivitas penyakit, dan defisiensi kortisol yang muncul akibat penekanan aksis hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) kronis. Tapering secara bertahap memberikan pemulihan terhadap fungsi adrenal.
Sebagai panduan, untuk tapering dosis prednison > 40 mg/hari maka dapat dilakukan penurunan 5-10 mg setiap 1-2 minggu. Diikuti dengan penurunan 5 mg setiap 1-2 minggu pada dosis antara 40-20 mg/hari. Selanjutnya diturunkan 1-2,5 mg/hari setiap 2-3 minggu bila dosis prednison < 20 mg/hari. Selanjutnya dipertahankan dalam dosis rendah untuk mengontrol aktivitas penyakit.

Sparing Agen Kortikosteroid
Istilah ini digunakan untuk obat yang diberikan untuk memudahkan menurunkan dosis KS dan berfungsi juga mengontrol penyakit dasarnya. Obat yang sering digunakan sebagai sparing agent ini adalah azatioprin, mikofenolat mofetil, siklofosfamid dan metotrexate. Pemberian terapi kombinasi ini adalah untuk mengurangi efek samping KS.

Rekomendasi IRA
  • Pengobatan SLE meliputi edukasi dan konseling, rehabilitasi medik dan medikamentosa
  • Pemberian terapi kortikosteroid merupakan lini pertama, cara penggunaan, dosis dan efek samping perlu diperhatikan
  • Terapi pendamping (sparing agent) dapat digunakan untuk memudahkan menurunkan dosis kortikosteroid, mengontrol penyakit dasar dan mengurangi efek samping KS.


Pengobatan SLE Berdasarkan Aktivitas Penyakitnya
Pengobatan SLE Ringan
Obat-obatan:
  • Penghilang nyeri seperti Paracetamol 3x500 mg, bila diperlukan.
  • Obat anti inflamasi non steroid (OAINS), sesuai panduan diagnosis dan pengelolaan nyeri dan inflamasi.
  • Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat potensi ringan).
  • Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kgBB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet klorokuin 250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa) dengan catatan periksa mata saat awal akan pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan, sedangkan hidroksiklorokuin dosis 5-6,5 mg/kgBB/hari (200-400 mg/hari) dan periksa mata setiap 6-12 bulan.
  • Kortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg/hari atau yang setara.

Tabir surya: gunakan tabir surya topikal dengan sun protection factor sekurang-kurangnya 15 (SPF 15).

Pengobatan SLE Sedang
Sama seperti pada SLE ringan kecuali pada obat-obatan. Pada SLE sedang diperlukan beberapa regimen obat-obatan tertentu serta mengikuti protokol pengobatan yang telah ada.

Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa
Sama seperti pada SLE ringan kecuali pada penggunaan obat-obatan. Pada SLE berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obat-obatan seperti:
Glukokortikoid dosis tinggi. Lupus nefritis, serebritis atau trombositopenia: prednison 40-60 mg/hari (1 mg/kgBB) atau yang setara selama 4-6 minggu yang kemudian diturunkan secara bertahap, dengan didahului pemberian metilprednisolon intravena 500 mg – 1 gr/hari selama 3 hari berturut-turut.
Obat imunosupresan atau sitotoksik. Kelompok obat ini yang biasa digunakan pada SLE yaitu azatioprin, siklofosfamid, metotreksat, siklosporin, mikofenolat mofetil.

Algoritma penatalaksanaan SLE
Bagan Algoritma Penatalaksanaan SLE. Terapi SLE sesuai dengan keparahan manifestasinya.
TR tidak respon, RS respon sebagian, RP respon penuh.
KS adalah kortikosteroid setara prednison, MP metilprednisolon, AZA azatioprin, OAINS obat anti inflamasi non steroid, CYC siklofosfamid, NPSLE neuropsikiatri SLE.

Terapi Lain
Beberapa obat yang dapat digunkana pada keadaan khusus SLE mencakup:
  1. Imunoglobulin intravena terutama IgG, dosis 400 mg/kgB/hari selama 5 hari, terutama pada pasien SLE dengan trombositopenia, anemia hemolitik, nefritis, neuropsikiatrik SLE, manifestasi mukokutaneus, atau demam yang refrakter dengan terapi konvensional.
  2. Plasmaferesis pada pasien SLE dengan sitopeni, krioglobulinemia dan lupus serebritis.
  3. Thalidomide 25-50 mg/hari pada lupus diskoid.
  4. Danazol pada trombositopenia refrakter.
  5. Dehydroepiandrosterone (DHEA) dikatakan memiliki steroid-sparing effect pada SLE ringan.
  6. Dapson dan derivat retinoid pada SLE dengan manifestasi kulit yang refrakter dengan obat lainnya.
  7. Rituximab suatu monoklonal antibodi kimerik dapat diberikan pada SLE berat.
  8. Belimumab suatu monoklonal antibodi yang menghambat aktivitas stimulator limfosit sel B telah dilaporkan efektif dalam terapi SLE (belum tersedia di Indonesia).
  9. Terapi eksperimental diantaranya antibodi monoklonal terhadap ligan CD40 (CD40LmAb).
  10. Dialisis, transplantasi autologus stem-cell.
Rekomendasi IRA
  • Terapi SLE berdasarkan berat ringannya penyakit
  • Lihat algoritma terapi SLE 


(Sumber: Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia 2011)

Monday, May 22, 2017

Fever Of Unknown Origin (FUO) / Prolonged Fever

Fever of Unknown Origin (FUO) pada orang dewasa didefinisikan sebagai demam dengan suhu lebih dari 38,3oC yang berlangsung selama lebih dari 3 minggu tanpa diketahui penyebab yang jelas meskipun telah dilakukan pemeriksaan seksama.

Klasifikasi FUO

Etiologi FUO

FUO dapat disebabkan oleh penyakit infeksi dan non infeksi. Penyebab tersering FUO dibagi menjadi 4 kategori penyakit yaitu: infeksi, keganasan, penyakit kolagen pembuluh darah, dan sebab lainnya.
Penyakit infeksi
  • Intraabdominal abscess (eg, periappendiceal, diverticular, subphrenic); liver, splenic, pancreatic, perinephric, or placental abscess
  • Appendicitis, cholecystitis, cholangitis, aortoenteric fustula, mesenteric lymphadenitis, tubo-ovarian abscess, pyometra
  • Intracranial abscess, sinusitis, mastoiditis, otitis media, dental abscess
  • Chronic pharyngitis, tracheobronchitis, lung abscess
  • Septic jugular phlebitis, mycotic aneurysm, endocarditis, intravenous catheter infection, vascular graft infection
  • Wound infection, osteomyelitis, infected joint prosthesis, pyelonephritis, prostatitis
  • Tuberculosis, Mycobacterium avium complex, leprosy, Lyme disease, relapsing fever (Borrelia recurrentis), syphilis, Q fever
  • Legionellosis, yersiniosis
  • Salmonellosis (including typhoid fever), listeriosis, Campylobacter, brucellosis, tularaemia, bartonellosis, ehrlichiosis, psitticosis
  • Chlamydia pneumoniae, murine typhus, scrub typhus
  • Gonococcaemia, meningococcaemia
  • Actinomycosis, nocardiosis, melioidosis, Whipple’s disease (Tropheryma whippelii)
  • Candidaemia, cryptococcosis, histoplasmosis, coccodiodomycosis, blastomycosis, sporotrichosis, aspergillosis, mucormycosis
  • Malassezia furfur, Pneumocystis carinii
  • Visceral leishmaniasis, malaria, babesiosis, toxoplasmosis, schistosomiasis, fascioliasis, toxocariasis, amoebiasis, infected hydatid cyst, trichinosis, trypanosomiasis
  • Cytomegalovirus, HIV, Herpes simplex, Epstein-Barr virus, parvovirus B19

Keganasan
  • Leukemia and Lymphoma, Non-Hodgkin Lymphoma, colon cancer, hepatoma, metastatic cancers, myelodisplastic syndrome, pancreatic carcinoma, preleukemia (elderly), sarcomas, renal cell carcinoma

Penyakit Autoimmune
  • Adult Still’s disease, SLE, cryoglobulinaemia, Reiter’s syndrome, rheumatic fever, giant cell arteritis/polymyalgia rheumatica,
  • Wegener’s granulomatosis, ankylosing spondylitis, Behcet’s syndrome, polyarteritis nodosa
  • Hypersensitivity vasculitis, urticarial vasculitis, Sjogren’s syndrome, polymyositis, rheumatoid arthritis, erythema multiforme, erythema nodusum, relapsing polychondritis, mixed connective-tissue disease, Takayasu’s aortitis, Weber-Christian disease
  • Felty’s synfrome, eosinophiic fasciitis

Penyebab lainnya
  • Drug induced fever, complication from cirrhosis, factitious fever, hepatitis (alcoholic, granulomatous or lupoid), deep vein thrombosis, Sarcoidosis, hyperthyroidism, pulmonary embolism (elderly)

Obat-obat yang sering menyebabkan FUO: 

Diagnosis FUO
Anamnesis
Anamnesis merupakan pendekatan diagnostik yang sangat penting dalam penegakkan diagnosis. Meliputi informasi mengenai demam serta polanya, obat-obatan yang pernah diminum, riwayat penyakit keluarga, lingkungan pekerjaan, riwayat kontak dengan binatang, riwayat bepergian ke daerah endemis penyakit tertentu, riwayat perilaku seksual, penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, batuk lama, nyeri-nyeri di tubuh atau di persendian, keluhan neurologis seperi nyeri kepala, penurunan visus atau perubahan kesadaran.


Pemeriksaan Fisik        
Hasil pemeriksaan fisik yang dikaitkan dengan penyebab tersering FUO


Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan dalam pendekatan diagnosis yaitu pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologis, baik pemeriksaan sederhana maupuan pemeriksaan khusus. Pemeriksaan awal yang dilakukan: darah lengkap, hitung jenis, morfologi darah tepi, faal hati, pengukuran kadar laktat dehidrogenase (LDH), laju endap darah (LED), antinuclear antibody (ANA), rheumatoid factor (RF), C-reactive protein (CRP), tes tuberkulin, kultur darah sebanyak 3 kali, urine lengkap, kultur urine, pemeriksaan feses lengkap, sputum, serologi hepatitis bila ada kelainan pada faal hati, foto thoraks serta USG abdomen.


Pemeriksaan Penunjang di Fasilitas Kesehatan Primer
Pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat pertama, terdiri dari:
  1. Pemeriksaan darah sederhana (hemoglobin, apusan darah tepi, trombosit, leukosit, hematokrit, eosinofil, eritrosit, golongan darah, laju endap darah, malaria)
  2. Urine sederhana (warna, berat jenis, kejernihan, pH, leukosit, eritrosit)
  3. Feses sederhana (tes benzidin, mikroskopik cacing)
  4. Pemeriksaan gula darah sewaktu
Aplikasi Pemeriksaan Penunjang Faskes Primer Untuk FUO
  • Pemeriksaan darah sederhana (hemoglobin, apusan darah tepi, trombosit, leukosit, hematokrit, eosinofil, eritrosit, golongan darah, laju endap darah, malaria).
    • Pemeriksaan LED. Adanya LED yang meningkat > 100 tanpa didapatkan anemia perlu dipikirkan adanya giant cell arteritis, multipel mieloma dan osteomielitis. Sedangkan LED yang tidak meningkat atau rendah ditemukannya nyeri otot perlu dipikirkan: trikinosis.
    • Pemeriksaan leukosit. Adanya leukopenia perlu dipikirkan kemungkinan: lupus, limfoma, demam tifoid, infeksi kronis (TBC, bruselosis, HIV, riketsia).
    • Pemeriksaan eosinofil. Adanya eosinofilia perlu dipikirkan kemungkinan: demam akibat obat (drug induced fever), trikinosis, poliarteritis nodosa.
    • Pemeriksaan basofil. Adanya basofilia perlu dipikirkan adanya limfoma.
    • Pemeriksaan monosit. Adanya monositosis perlu dipikirkan kemungkinan: sarkoidosis, SLE, TBC, CMV dan karsinoma.
    • Pemeriksaan limfosit. Adanya limfositosis perlu dipikirkan kemungkinan: CMV, EBV, toksoplasmosis. Adanya limfopenia perlu dipikirkan kemungkinan: SLE.
    • Pemeriksaan trombosit. Adanya trombositopenia perlu dipikirkan kemungkinan: leukemia dan limfoma.
  • Urine sederhana (warna, berat jenis, kejernihan, pH, leukosit, eritrosit)
    • Ditemukan adanya hematuria perlu dipikirkan kemungkinan: karsinoma sel renal, tuberkulosis, endokarditis, bruselosis, limfoma, periarteritis nodosa.
    • Piuria dan bakteriuria biasa didapatkan pada usia lanjut dan adanya penyakit penyerta.
    • Urinalisis yang normal dan kultur urine yang normal perlu dipikirkan adanya abses perinefritik, karena 30% diagnostik tersebut urinalisisnya normal dan 40% hasil kulturnya steril.
  • Feses sederhana (tes benzidin, mikroskopik cacing). Untuk melihat adanya perdarahan di saluran cerna yang tidak tampak dan evaluasi adanya telur cacing maupun cacing maupun adanya inflamasi di saluran cerna bawah.
  • Foto toraks. Sebaiknya rutin dikerjakan karena tidak mahal.
  • Ekokardiografi. Pemeriksaan ini sangat tinggi sensitivitasnya untuk mendiagnosa endokarditis, lebih baik lagi bila tersedia transesophageal echocardiography.
  • Endoskopi. Diindikasikan untuk mencari penyebab penyakit Crohn, penyakit Whipple, saluran bilier, dan tumor gastrointestinal. Gejala diare dan keluhan perut sering tidak ditemukan pada pasien usia muda.
  • Tes Naproksen. Pemberian naproksen 250 mg tiap 8 jam selama 3 hari. Sederhana, murah dan tidak invasif bisa untuk membedakan penyebab infeksi atau penyakit keganasan. Penurunan demam secara cepat atau terjadi resolusi dalam 24 jam bisa menyingkirkan penyebab infeksi atau kemungkinan penyebabnya adalah neoplasma.
  • Skrining tuberkulosis. Tes Mantoux tidak mahal tapi sensitif, namun memerlukan staf yang terlatih untuk melakukan interpretasi ukuran indurasi dalam evaluasi 48-72 jam. Melalui mekanisme hipersensitivitas tipe IV (bisa dipikirkan kemungkinan kontak dengan tuberkulosis). Bila tersedia pemeriksaan IGRA (interferon gamma release assay) sensitivitasnya lebih tinggi dan lebih cepat.
  • Serologi HIV, Adanya program VCT perlu dipikirkan untuk melakukan PITC pada kasus FUO.
  • Pemeriksaan penunjang sederhana lain:
    • Peningkatan alkalin fosfatase perlu dipikirkan kemungkinan: limfoma atau hepatitis granuloma.
    • Adanya transaminitis bisa disebabkan berbagai kemungkinan penyebab.
    • Peningkatan protein total atau kalsium perlu dipikirkan kemungkinan myeloma multipel. 
(Sumber: Prolonged Fever, PKB XXXII Ilmu Penyakit Dalam 2017)

Wednesday, May 10, 2017

Artritis Pirai (Artritis Gout)

Artritis pirai (gout) merupakan kelompok penyakit heterogen sebagai akibat deposisi kristal monosodium urat pada jaringan atau akibat supersaturasi asam urat di dalam cairan ekstraselular. Manifestasi klinik deposisi urat meliputi artritis gout akut, akumulasi kristal pada jaringan yang merusak tulang (tofi), batu asam urat dan kegagalan ginjal (gout nefropati).

PATOLOGI GOUT
Histopatologis dari tofus menunjukkan granuloma dikelilingi oleh butir kristal monosodium urat (MSU). Reaksi inflamasi di sekeliling kristal terutama terdiri dari sel mononuklear dan sel giant. Erosi kartilago dan korteks tulang terjadi di sekitar tofus. Kapsul fibrosa biasanya prominen di sekliling tofi. Kristal dalam tofi berbentuk jarum (needle shape) dan sering membentuk kelompok kecil secara radier.

PATOGENESIS ARTRITIS GOUT
Awitan (onset) serangan gout akut berhubungan dengan perubahan kadar asam urat serum, meninggi ataupun menurun. Pada kadar urat serum yang stabil, jarang mendapat serangan. Pengobatan dini dengan alopurinol yang menurunkan kadar urat serum dapat mempresipitasi serangan gout akut. Pemakaian alkohol berat oleh pasien dapat menimbulkan fluktuasi konsentrasi urat serum.
Penurunan urat serum dapat mencetuskan pelepasan kristal monosodium urat dari depositnya dalam tofi (crystals shedding). Pada beberapa pasien gout atau yang dengan hiperurisemia asimptomatik kristal urat ditemukan pada sendi metatarsofalangeal dan lutut yang sebelumnya tidak pernah mendapat serangan akut. Terdapat peranan temperatur, pH dan kelarutan urat untuk timbul serangan gout akut. Menurunnya kelarutan sodium urat pada temperatur lebih rendah pada sendi perifer seperti kaki dan tangan, dapat menjelaskan mengapa kristal MSU diendapkan pada kedua tempat tersebut. Predileksi untuk pengendapan kristal MSU pada metatarsofalangeal-1 (MTP-1) berhubungan juga dengan trauma ringan yang berulang-ulang pada daerah tersebut.
Peradangan atau inflamasi merupakan reaksi penting pada artritis gout terutama gout akut. Reaksi ini merupakan reaksi pertahanan tubuh non spesifik untuk menghindari kerusakan jaringan akibat agen penyebab. Tujuan dari proses inflamasi adalah:
  • Menetralisir dan menghancurkan agen penyebab
  • Mencegah perluasan agen penyebab ke jaringan yang lebih luas

Peradangan pada artritis gout akut adalah akibat penumpukan agen penyebab yaitu kristal monosodium urat pada sendi. Mekanisme peradangan ini belum diketahui secara pasti. Hal ini diduga oleh peranan mediator kimia dan selular. Pengeluaran berbagai mediator peradangan akibat aktivasi melalui berbagai jalur, antara lain aktivitas komplemen (C) dan selular.

Aktivasi Komplemen
Kristal urat dapat mengaktifkan sistem komplemen melalui jalur klasik dan jalur alternatif. Melalui jalur klasik, terjadi aktivasi komplemen C1 tanpa peran imunoglobulin. Pada kadar MSU meninggi, aktivasi sistem komplemen melalui jalur alternatif terjadi apabila jalur klasik terhambat.

Aspek Selular Artritis Gout
Pada artritis gout, berbagai sel dapat berperan dalam proses peradangan, antara lain sel makrofag, neutrofil sel sinovial, dan sel radang lainnya. Makrofag pada sinovium merupakan sel utama dalam proses peradangan yang dapat menghasilkan berbagai mediator kimiawi antara lain IL-1, TNF, IL-6 dan GM-CSF (Granulocyte-Macrophage Colony-Stimulating Factor). Mediator ini menyebabkan kerusakan jaringan dan mengaktivasi berbagai sel radang.


MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinik gout terdiri dari artritis gout akut, interkritikal gout dan gout menahun dengan tofi.
Stadium Artritis Gout Akut
Radang sendi pada stadium ini sangat akut dan timbul sangat cepat dalam waktu singkat. Biasanya bersifat monoartikuler dengan keluhan utama berupa nyeri, bengkak, terasa hangat, merah dengan gejala sistemik berupa demam, menggigil dan merasa lelah. Lokasi yang paling sering pada MTP-1 yang biasa disebut podagra. Apabila proses penyakit beranjut, dapat terkena sendi lain yaitu pergelangan tangan/kaki, lutut dan siku.
Faktor pencetus serangan akut antara lain berupa trauma lokal, diet tinggi purin, kelelahan fisik, stres, tindakan operasi, pemakaian obat diuretik atau penurunan dan peningkatan asam urat. Penurunan asam urat darah secara mendadak dengan alopurinol dapat atau obat urikosurik dapat menimbulkan kekambuhan.

Stadium Interkritikal
Stadium ini merupakan kelanjutan stadium akut dimana terjadi periode interkritik asimptomatik. Walaupun secara klinik tidak terdapat tanda-tanda radang akut, namun pada aspirasi sendi ditemukan kristal urat. Hal ini menunjukkan bahwa proses peradangan tetap berlanjut, walaupun tanpa keluhan. Apabila tanpa penanganan yang baik dan pengaturan asam urat yang tidak benar, maka dapat timbul serangan akut lebih sering yang dapat mengenai beberapa sendi dan biasanya lebih berat. Manajemen yang tidak baik, maka keadaan interkritik akan berlanjut menjadi stadium menahun dengan pembentukan tofi.

Stadium Artritis Gout Menahun
Artritis gout menahun biasanya disertai tofi yang banyak dan terdapat poliartikular. Tofi ini sering pecah dan sulit sembuh dengan obat, kadang-kadang dapat timbul infeksi sekunder. Lokasi tofi yang paling sering pada cuping telinga, MTP-1, olekranon, tendon Achilles dan jari tangan. Pada stadium ini kadang-kadang disertai batu saluran kemih sampai penyakit ginjal menahun.

DIAGNOSIS
Dengan menemukan kristal urat dalam tofi merupakan diagnosis spesifik untuk gout. Akan tetapi tidak semua pasien mempunyai tofi, sehingga tes diagnostik ini kurang sensitif. Oleh karena itu kombinasi dari penemuan-penemuan di bawah ini dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis:
  1. Riwayat inflamasi klasik artritis monoartikuler khusus pada sendi MTP-1
  2. Diikuti oleh stadium interkritik dimana bebas simptom
  3. Resolusi sinovitis yang cepat dengan pengobatan kolkisin
  4. Hiperurisemia

Berdasarkan kriteria ACR (American College Rheumatology), diagnosis ditegakkan bila salah satu dari poin (A), (B), dan (C) berikut terpenuhi.
(A) Didapatkan kristal MSU di dalam cairan sendi, atau
(B) Didapatkan kristal MSU pada tofus, atau
(C) Didapatkan 6 dari 12 kriteria berikut:
  1. Inflamasi maksimal pada hari pertama
  2. Serangan artritis akut lebih dari 1 kali
  3. Serangan artritis monoartikular
  4. Sendi yang terkena berwarna kemerahan
  5. Pembengkakan dan sakit pada sendi MTP-1
  6. Serangan pada sendi MTP unilateral
  7. Serangan pada sendi tarsal unilateral
  8. Tofus (atau suspek tofus)
  9. Hiperurisemia
  10. Pembengkakan sendi asimetris (radiologis)
  11. Kista subkortikal tanpa erosi (radiologis)
  12. Kultur bakteri cairan sendi negatif

PENATALAKSANAAN
Secara umum penanganan artritis gout adalah memberikan edukasi, pengaturan diet, istirahat sendi dan pengobatan.
Pengobatan artritis gout akut bertujuan menghilangkan keluhan nyeri sendi dan peradangan dengan obat-obat, antara lain kolkisin, obat anti inflamasi non steroid (OAINS), kortikosteroid, atau hormon ACTH. Obat penurun asam urat seperti alopurinol atau obat urikosurik tidak boleh diberikan pada stadium akut kecuali pada pasien yang sudah rutin mengkonsumsinya.
Pemberian kolkisin dosis standar untuk artritis gout akut secara oral 3-4 kali, 0,5-0,6 mg per hari dengan dosis maksimal 6 mg. Pemberian OAINS dapat pula diberikan. Dosis tergantung dari jenis OAINS yang digunakan. Jenis OAINS yang banyak dipakai pada artritis gout akut adalah indometasin, dengan dosis 150-200 mg/hari, selama 2-3 hari dilanjutkan 75-100 mg/hari sampai minggu berikutnya atau sampai nyeri atau peradangan berkurang. Kortikosteroid dan ACTH diberikan apabila kolkisin dan OAINS tidak efektif atau merupakan kontra indikasi. Pemakaian kortikosteroid pada gout dapat diberikan oral atau parenteral.
Pada stadium interkritik dan menahun, tujuan pengobatan adalah untuk menurunkan kadar asam urat, sampai kadar normal, guna mencegah kekambuhan. Penurunan kadar asam urat dilakukan dengan pemberian diet rendah purin dan pemakaian obat alopurinol bersama dengan obat urikosurik yang lain.

(Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III & PPK Ilmu Penyakit Dalam)

Tuesday, May 9, 2017

Osteoartritis

Osteoartritis (OA) adalah penyakit sendi degeneratif dan inflamasi yang ditandai dengan perubahan patologik pada seluruh struktur sendi. Keadaan patologis yang terjadi adalah: hilangnya rawan sendi hialin, diikuti penebalan dan sklerosis tulang subkondral, pertumbuhan osteofit pada tepi sendi, teregangnya kapsul sendi, sinovitis ringan dan kelemahan otot yang menyokong sendi.

ETIOPATOGENESIS OSTEOARTRITIS
Berdasarkan patogenesis OA dibedakan menjadi 2 yaitu: OA primer dan OA sekunder. Osteoartritis primer disebut juga OA idiopatik yaitu OA yang kausanya tidak diketahui dan tidak ada hubungannya dengan penyakit sistemik maupun proses perubahan lokal pada sendi. OA sekunder adalah OA yang didasari oleh adanya kelainan endokrin, inflamasi, metabolik, pertumbuhan, herediter, jejas mikro dan makro serta imobilisasi yang terlalu lama. OA primer lebih sering ditemukan dibanding OA sekunder.
OA merupakan penyakit gangguan homeostasis dari metabolisme kartilago dengan kerusakan struktur proteoglikan kartilago yang penyebabnya belum jelas diketahui. Jejas mekanis dan kimiawi diduga merupakan faktor penting yang merangsang terbentuknya molekul abnormal dan produk degradasi kartilago di dalam cairan sinovial sendi yang mengakibatkan terjadi inflamasi sendi, kerusakan kondrosit dan nyeri.
OA ditandai dengan fase hipertrofil kartilago yang berhubungan dengan suatu peningkatan terbatas dari sintesis matriks makromolekul oleh kondrosit sebagai kompensasi perbaikan (repair). OA terjadi sebagai hasil kombinasi antara degradasi rawan sendi, remodelling tulang dan inflamasi cairan sendi.
Kelainan di sekitar rawan sendi tergantung pada sendi yang terkena, tetapi prinsipnya adalah adanya tanda-tanda inflamasi sendi, perubahan fungsi dan struktur rawan sendi seperti persambungan sendi yang tidak normal, gangguan fleksibilitas, pembesaran tulang serta gangguan fleksi dan ekstensi, terjadinya instabilitas sendi, timbulnya krepitasi baik pada gerakan aktif maupun pasif.

FAKTOR-FAKTOR RISIKO OA
  • Umur. Dari semua faktor risiko OA, faktor ketuaan adalah yang terkuat. Prevalensi dan beratnya OA semakin meningkat dengan bertambahnya umur.
  • Jenis Kelamin. Wanita lebih sering terkena OA lutut dan banyak sendi, dan lelaki lebih sering terkena OA paha, pergelangan tangan dan leher.
  • Suku Bangsa
  • Genetik
  • Kegemukan dan Penyakit Metabolik. Berat badan berlebih berkaitan dengan meningkatnya risiko untuk timbulnya OA baik pada wanita maupun pria.
  • Cedera Sendi, Pekerjaan dan Olahraga. Pekerjaan berat maupun dengan pemakaian satu sendi yang terus menerus (misalnya tukang pahat, pemetik kapas) berkaitan dengan peningkatan risiko OA tertentu. Demikian juga cedera sendi dan olahraga yang sering menimbulkan cedera sendi berkaitan dengan risiko OA yang lebih tinggi.
  • Kelainan Pertumbuhan. Kelainan kongenital dan pertumbuhan paha (misalnya penyakit Perthes dan dislokasi kongenital paha) telah dikaitkan dengan timbulnya OA paha pada usia muda.
  • Faktor-faktor Lain. Tingginya kepadatan tulang dikatakan dapat meningkatkan risiko timbulnya OA. Hal ini mungkin timbul karena tulang yang lebih padat (keras) tak membantu mengurangi benturan beban yang diterima oleh tulang rawan sendi.


SENDI-SENDI YANG TERKENA
Predileksi OA pada sendi-sendi tertentu: carpometacarpal I, meatarsophalangeal I, sendi apofiseal tulang belakang, lutut dan paha.

DIAGNOSIS
Anamnesis
  • Nyeri sendi yang biasanya bertambah dengan gerakan dan sedikit berkurang dengan istirahat.
  • Hambatan gerak sendi
  • Kaku pagi hari
  • Krepitasi (rasa gemeretak) pada sendi yang sakit
  • Pembesaran sendi (deformitas) yang terjadi pelahan-lahan
  • Perubahan gaya berjalan

Pemeriksaan Fisik
  • Hambatan gerak, bisa terjadi konsentris (seluruh arah gerakan) maupun eksentris (salah satu arah gerakan saja).
  • Krepitasi (gejala ini lebih berarti untuk pemeriksaan klinis OA lutut)
  • Pembengkakan sendi yang seringkali asimetris
  • Tanda-tanda peradangan pada sendi (nyeri tekan, gangguan gerak, rasa hangat, dan warna kemerahan)
  • Perubahan bentuk (deformitas) sendi yang permanen
  • Perubahan gaya berjalan, terutama dijumpai pada OA lutut, sendi paha dan OA tulang belakang dengan stenosis spinal

Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis OA biasanya didasarkan pada gambaran klinis dan radiografis.
Radiografis Sendi yang Terkena
Gambaran radiografi sendi yang menyokong diagnosis OA ialah:
  • Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris (lebih berat pada bagian yang menanggung beban)
  • Peningkatan densitas (sklerosis) tulang subkondral
  • Kista tulang
  • Osteofit pada pinggir sendi
  • Perubahan struktur anatomi sendi

Berdasarkan perubahan-perubahan radiografi di atas, secara radiografi OA dapat digradasi menjadi ringan sampai berat (kriteria Kellgran dan Lawrence).



Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium pada OA biasanya tidak banyak berguna. Darah tepi (hemoglobin, leukosit, LED) dalam batas-batas normal. Pemeriksaan imunologi (ANA, faktor reumatoid dan komplemen) juga normal.

Kriteria diagnosis OA lutut berdasarkan ACR tahun 1986


Kriteria diagnosis OA tangan berdasarkan kriterita ACR tahun 1990
  1. Nyeri tangan atau kaku, dan
  2. Tiga dari empat kriteria berikut:
    • Pembesaran jaringan keras pada ≥ 2 dari 10 sendi tangan tertentu (sendi DIP II dan III, sendi PIP II dan III, serta sendi CMC I pada tangan kiri dan kanan)
    • Pembesaran jaringan keras pada ≥ 2 sendi DIP
    • Pembengkakan pada < 3 sendi MCP
    • Deformitas pada minimal 1 dari 10 sendi tangan tertentu


Kriteria diagnosis OA sendi pinggul berdasarkan kriteria ACR tahun 1991
  1. Nyeri pinggul, dan
  2. Minimal 2 dari 3 kriteria berikut:

    • LED ≤ 20 mm/jam
    • Radiologi: terdapat osteofit pada femur atau asetabulum
    • Radiologi: terdapat penyempitan celah sendi (superior, aksial, dan/atau medial)


PEMANTAUAN PROGRESIVITAS DAN OUTCOME OA
Terdapat 3 cara utama untuk memantau progresivitas dan outcome OA:
  1. Pengukuran nyeri sendi dan disabilitas pasien, misalnya nilai algofungsional dari WOMAC, indeks beratnya nyeri lutut dan panggul.
  2. Pengukuran perubahan struktural (anatomi) pada sendi yang terserang, misalnya radiografi polos, MRI, artroskopi dan ultrasound frekuensi tinggi.
  3. Pengukuran proses penyakit yang dinyatakan dengan perubahan metabolisme atau perubahan kemampuan fungsional dari rawan sendi artikuler, tulang subkondral atau jaringan sendi lainnya, misalnya marker rawan sendi dalam cairan tubuh, skintigrafi tulang, pengukuran resistensi terhadap kompresi pada rawan sendi sengan mengukur kemampuan identasi atau penyebaran.
Nilai algofungsional, radiologik polos, dan artroskopi telah banyak digunakan pada berbagai uji klinik OA, tetapi hanya nilai algofungsional saja yang telah divalidasi sebagai instrumen outcome.
Foto polos sendi selama ini digunakan sebagai standar emas untuk menilai perubahan struktur sendi pada berbagai uji klinik penggunaan obat DMOA (Disease Modifying Osteoarthritis Drugs).

PENGELOLAAN
Pengelolaan OA terdiri dari 3 hal:
Terapi non-farmakologis:
  • Edukasi
  • Terapi fisik dan rehabilitasi
  • Penurunan berat badan

Terapi farmakologis:
  • Analgesik oral non-opiat
  • Analgesik topikal
  • OAINS
  • Chondroprotective
  • Steroid intra-artikuler

Terapi bedah:
  • Malalignment, deformitas lutut Valgus-Varus dsb
  • Arthoscopic debridement dan joint lavage
  • Osteotomi
  • Artoplasti sendi total
Chondroprotective Agent
Yang dimaksud dengan chondroprotective agent adalah obat-obatan yang dapat menjaga atau merangsang perbaikan (repair) tulang rawan sendi pada pasien OA. Sebagian peneliti menggolongkan obat-obatan tersebut dalam Slow Acting Anti Osteoarthritis Drugs (SAAOAD) atau Disease Modifying Anti Osteoarthritis Drugs (DMOADs). Sampai saat ini yang termasuk dalam kelompok obat ini adalah: tetrasiklin, asam hialuronat, kondrotin sulfat, glikosaminoglikan, vitamin-C, superoxide desmutase dan sebagainya.

(Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III & PPK Ilmu Penyakit Dalam)

Lupus Eritematosus Sitemik / Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

Lupus eritematosus sitemik (systemic lupus erythematosus) (SLE) merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum dik...